Minggu, 22 Juni 2014

MAKALAH NIKAH SIRIH MENURUT PANDANGAN ISLAM

Dosen Pembimbing : KH. Abdul Rasyid Sabirin, Lc.MA

Di Susun Oleh :
YASIN MUBARAK
NPM : 13 650 182


FAKULTAS TEKNIK
TEKNIK INFORMATIKA
UNIVERSITAS DAYANU IKHSANUDDIN
BAUBAU


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Allah menciptakan sesuatu dengan berpasang-pasangan, laki-laki perempuan , hewan jantan dan betina, siang dam malam dan sebagainya. Manusia hidup berpasangan-pasangan menjadi suami istri membangun rumah tangga yang damai dan teratur. Untuk itu haruslah diadakan ikatan dan pertalian yang kekal dan tidak mudah diputuskan, yaitu ikatan Akad Nikah atau Ijab Kabul perkawinan. Bila Akad Nikah telah dilangsungkan maka mereka telah berjanji dan setia akan membangun rumah tangga yang Sakinah dan Mawadah Warohmah, yang natinya akan lahir keturunan-keturunan dari mereka.
Dalam hukum islam tujuan perkawianan adalah menjalankan perintah Allah SWT agar memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dan membentuk keluarga yang bahagia. Artinya ketika seseorang memutuskan untuk menikah, maka lembaga perkawinan tersebut pastilah bertujuan untuk menciptakan ketenangan. Dan kedamaian bagi manusia yang telah mampu untuk melaksanakannya. Sebagai firman Allah :
ﻴﺎﻤﻌﺳﺮﺍﻟﺷﺎﺐ ﻤﻦ ﺍﺳﺘﻁﺎﻉ ﻤﻧﻛﻢ ﺍﻟﺑﺎﺀﺓ ﻓﻠﻴﺘﺯ ﻮﺝ
“hai sekalian pemuda . siapa yang sanggup bersetubuh (Karena ada belanja nikah), hendaklah berkawin”
ﻓﺎﻧﻛﺣﻮ ﺍﻤﺎ ﻂﺎﺐ ﻠﻛﻢ ﻤﻦ ﺍﻠﻧﺴﺂﺀﻤﺛﻦ ﻮﺛﻠﺚ ﻮﺮﺑﺎﻉ ﺨﻔﺗﻡ ﺍﻻﺗﻌﺪ ﻠﻮ ﺍﻔﻮ ﺍﺣﺫﺓ
﴿ ﺍﻠﻧﺳﺎﺀ :٣﴾
“ Maka kawinilah perempuan yang kamu sukai, satu, dua, tiga dan empat, tetapi kalau kamu kautir tidak berlaku adil (diantara perempuan-perempuan Itu), hendaklah satu saja” (QS.Anisa.ayat 3)
Dalam firman Allah SWT dan sabda Rosulnya mengajukan perkawinan. yang diatas sudah jelas.
Namun akhir ini banyak temuan kasus perkawinan sirih di berbagai kalangan, misalnya media cetak, maupun media elektronik dalam acara infotaimen dalam siaran TV swasta, banyak sekali tayangan-tanyangan maraknya tentang perkawinan sirih mulai dari kalangan tokoh politik, selebritis maupun masyarakat biasa, meski perkawinan tersebut sah menurut agama namun belum tentu secara hukum.


B.     Rumusan Masalah
  •  Apa yang dimaksud dengan nikah siri?
  • Faktor apa saja yang melatar belakangi terjadinya nikah siri?
  • Sah tidaknya nikah siri menurut hukum agama dan hukum positif indonesia ?
  •  Bagaimana pandangan para ulama tentang nikah sirih?
  • Bagaimana dampak yang ditimbulkan dari nikah siri terhadap perempuan dan anaknya?

C.    Maksud dan Tujuan

  • Agar kita mengetahui yang dimaksud niakah siri.
  • Agar kita mengetahui sah tidaknya nikah sirih menurut hukum islam dan hukum posotif     indonesia. 
  •  Agar kita mengetahui bagaimana pandangan ulama tentang nikah siri.
  • Agar kita mengetahui faktor apa saja yang melatar belakangi terjadinya nikah siri.
  • Agar kita mengetahui dampak yang ditimbulkan dari nikah siri terhadap perempuan dan anaknya.
D.    Metode Penulisan
BAB I PENDAHULUAN : Latar belakang, Rumusan Masalah, Maksud dan Tujuan.
BAB II PEMBAHASAN : Apa yang dimaksud dengan nikah siri, Faktor apa saja yang melatar belakangi terjadinya nikah siri, Sah tidaknya nikah siri menurut hukum agama dan hukum positif Indonesia, Bagaimana pandangan para ulama tentang nikah siri, Bagaimana dampak yang ditimbulkan dari nikah siri terhadap perempuan dan anaknya?
BAB III. PENUTUP : kesimpulan, saran,



BAB II
PEMBAHASAN

1.       Pengertian Nikah Siri
Perkawinan adalah aqad antara calon laki istri untuk memenuhi hajat jenis kelamin yang diatur oleh syari’at. Sedangkan pengertian dari nikah siri adalah nikah secara rahasia (sembunyi-sembuyi). Disebut secara rahasia karena tidak dilaporkan kekantor urusan agama atau KUA bagi muslim atau kantor catatan sipil bagi non muslain.
Biasanya nikah siri dilakukan karena dua pihak belum siap meresmikannya atau meramaikannya, namun dipihak lain untuk menjadi agar tidak terjadi hal-hal yag tidak diinginkan atau terjerumus kepada hal-hal yang dilarang agama.
Pendapat Imam Abu Hanifah, Yang dimaksud dengan nikah siri adalah nikah yang tidak bisa menghadirkan wali dan tidak mencatatkan pernikahannya ke KUA dengan tiga imam madzab lainnya. Beliau menetapkan bahwa wanita yang telah baligh dan berakal (dalam kondisi normal) maka diperbolehkan memilih sendiri calon suaminya. Dia tidak hanya tergantung pada walinya saja. Lebih lanjut beliau menjelaskan wanita baligh dan berakal juga diperbolehkan aqad nikah sendiri baik dalam kondisi perawan atau janda.

2.       Faktor Yang Melatar belakangi Terjadinya Nikah Siri
Bermacam alasan yang melatar belakangi seseorang melakukan nikah siri. Ada yang menikah karena terbentur ekonomi, sebab sebagian pemuda tidak mampu menanggung biaya pesta, menyiapkan rumah milik dan harta gono gini, maka mereka memilih menikah dengan cara misyar yang penting halal, hal ini terjadi di sebagian besar Negara Arab . Ada juga yang tidak mampu mengeluarkan dana untuk mendaftarkan diri ke KUA yang dianggapnya begitu mahal. Atau malah secara finansial pasangan ini cukup untuk membiayai, namun karena khawatir pernikahannya tersebar luas akhirnya mengurungkan niatnya untuk mendaftar secara resmi ke KUA atau catatan sipil. Hal ini untuk menghilangkan jejak dan bebas dari tuntutan hukum dan hukuman administrasi dari atasan, terutama untuk perkawinan kedua dan seterusnya (bagi pegawai negeri dan TNI).
Menurut psikolog Ekorini Kuntowati, nikah siri juga dilatarbelakangi oleh model keluarga masing-masing pasangan. Pernikahan siri ataupun bukan, tidak menjadi jaminan untuk mempertahankan komitmen. Seharusnya orang lebih bijak, terutama bila hukum negara tidak memfasilitasinya. Nikah siri terjadi bukan hanya karena motivasi dari pelaku/pasangan atau latar belakang keluarganya, lingkungan sosial atau nilai sosial juga turut membentuknya. Sebut saja ketika biaya pencatatan nikah terlalu mahal sehingga ada kalangan masyarakat tak mampu tidak memedulikan aspek legalitas.
Faktor lain, ada kecenderungan mencari celah-celah hukum yang tidak direpotkan oleh berbagai prosedur pernikahan yang dinilai berbelit, yang penting dapat memenuhi tujuan, sekalipun harus rela mengeluarkan uang lebih banyak dari seharusnya. UU 1/1974 tentang Perkawinan beserta peraturan pelaksanaannya mengatur syarat yang cukup ketat bagi seseorang atau pegawai negeri sipil (PNS) yang akan melangsungkan pernikahan untuk kali kedua dan seterusnya, atau yang akan melakukan perceraian. Syarat yang ketat itu, bagi sebagian orang ditangkap sebagai peluang ''bisnis'' yang cukup menjanjikan. Yaitu dengan menawarkan berbagai kemudahan dan fasilitas, dari hanya menikahkan secara siri (bawah tangan) sampai membuatkan akta nikah asli tapi palsu (aspal). Bagi masyarakat yang berkeinginan untuk memadu, hal itu dianggap sebagai jalan pintas atau alternatif yang tepat. Terlebih, di tengah kesadaran hukum dan tingkat pengetahuan rata-rata masyarakat yang relatif rendah. Tidak dipersoalkan, apakah akta nikah atau tata cara perkawinan itu sah menurut hukum atau tidak, yang penting ada bukti tertulis yang menyatakan perkawinan tersebut sah. Kita menyebut fenomena itu sebagai ''kawin alternatif''.

3.      Sah Tidaknya Nikah Siri Menurut Hukum Agama Dan Hukum Positif Indonesia
1.      Hukum Agama
Hukum nikah sirih secara agama adalah sah atau legal dan dihalalkan atau diperbolehkan jika sarat dan rukun nikanya terpenuhi pada saat nikah sirih digelar. Rukun nikah yaitu :
1). Adanya Kedua Mempelai
2) adanya Wali
3) adanya Saksi Nikah
4) adanya Mahar atau Mas Kawin
5) adanya Ijab Qobul atau Akad.
2.      Hukum Positif Indonesia
Undang - Undang (UU RI) tentang Perkawinan No. 1 tahun 1974 diundang-undangkan pada tanggal 2 Januari 1974 dan diberlakukan bersamaan dengan dikeluarkannya peraturan pelaksanaan yaitu Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Menurut UU Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU Perkawinan). Mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan terdapat pada pasal 2 UU Perkawinan, yang berbunyi: "(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku."
Dari Pasal 2 Ayat 1 ini, kita tahu bahwa sebuah perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan rukun nikah atau ijab kabultelah dilaksanakan (bagi umat Islam) atau pendeta/pastur telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya, maka perkawinan tersebut adalah sah terutama di mata agama dan kepercayaan masyarakat. Tetapi sahnya perkawinan ini di mata agama dan kepercayaan masyarakat perlu disahkan lagi oleh negara, yang dalam hal ini ketentuannya terdapat pada Pasal 2 Ayat 2 UU Perkawinan, tentang pencatatan perkawinan . Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam pencatatan dilakukan di KUA untuk memperoleh Akta Nikah sebagai bukti dari adanya perkawinan tersebut. (pasal 7 ayat 1 KHI "perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah"). Sedangkan bagi mereka yang beragama non muslim pencatatan dilakukan di kantor Catatan Sipil, untuk memperoleh Akta Perkawinan.
Mengenai pencatatan perkawinan, dijelaskan pada Bab II Pasal 2 PP No. 9 tahun 1975 tentang pencatatan perkawinan. Bagi mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di KUA. Sedangkan untuk mencatatkan perkawinan dari mereka yang beragama dan kepercayaan selain Islam, cukup menggunakan dasar hukum Pasal 2 Ayat 2 PP No. 9 tahun 1975. Tata cara pencatatan perkawinan dilaksanakan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 PP No. 9 tahun 1975 ini, antara lain setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan secara lisan atau tertulis rencana perkawinannya kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan, selambat-lambatnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Kemudian pegawai pencatat meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut UU. Lalu setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tidak ditemukan suatu halangan untuk perkawinan, pegawai pencatat mengumumkan dan menandatangani pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempel surat pengumuman pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum .

4.      Bagaimana Pandangan Para Ulama Tentang Nikah Siri
Menurut pandangan mahzab Hanafi dan Hambali suatu penikahan yang syarat dan rukunnya terpenuhi maka sah menurut agama islam walaupun pernikahan itu adalah pernikahan siri. Hal itu sesuai dengan dalil yang berbunyi :
artinya “takutlah kamu terhadap wanita, kamu ambil mereka (dari orang tuanya) dengan amanah Allah dan kamu halalkan percampuran kelamin dengan mereka dengan kalimat Allah (Ijab Qabul”) (Rohil Muslaim).
Sedangkan menurut kiayi Husen Muhamad seorang komisioner komnas perempuan menyatakan pernikahan pria dewasa dengan wanita secara sirih merupakan pernikahan terlarang karena pernikahan tersebut dapat merugikan si perempuan, sedangkan islam justru melindungi perempuan bukan malah merugikannya.
Menurut kalangan Ulama Syiah memang membolehkan cara pernikahan seperti itu. Yaitu nikah siri, lebih baik ketimbang berjinah yang sangat dilaknat oleh Allat SWT.
Kalangan Ulama Suni di Indonesia yang berpendapat bahwa Nikah sirih adalah Halal berdasarkan nash Al Qur’an (Anisa:3), dan bahkan tidak sedikit diantaranya yang melakukannya, bukan semata-mata karena kebutuhan seksual, tetapi guna menunjukan ke-halalan Nikah sirih itu sendiri.

5.  Bagaimana Dampak Yang Ditimbulkan Dari Nikah Siri Terhadap Perempuan Dan Anaknya
R Valentina, dalam Perihal Perkawinan menulis , dampak yang akan timbul dari perkawinan yang tidak dicatatkan secara Yuridis Formal.
Pertama, perkawinan dianggap tidak sah. Meski perkawinan dilakukan menurut agama dan kepercayaan, namun di mata negara perkawinan tersebut dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh KUA atau Kantor Catatan Sipil (KCS).
Kedua, anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga ibu (pasal 42 dan 43 UU Perkawinan). Sedangkan hubungan perdata dengan ayahnya tidak ada. Ini artinya anak tidak dapat menuntut hak-haknya dari ayah. Dengan dilahirkan dalam perkawinan yang tidak dicatatkan, kelahiran anak menjadi tidak tercatatkan pula secara hukum dan hal ini melanggar hak asasi anak (Konvensi Hak Anak). Anak-anak ini berstasus anak di luar perkawinan.
Ketiga, akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik istri maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut tidak berhak menuntut nafkah ataupun warisan dari ayahnya.
Secara garis besar, perkawinan yang tidak dicatatkan sama saja dengan membiarkan adanya hidup bersama di luar perkawinan, dan ini sangat merugikan para pihak yang terlibat (terutama perempuan), terlebih lagi kalau sudah ada anak-anak yang dilahirkan. Mereka yang dilahirkan dari orang tua yang hidup bersama tanpa dicatatkan perkawinannya, adalah anak luar kawin yang hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya, dalam arti tidak mempunyai hubungan hukum dengan bapaknya. Dengan perkataan lain secara yuridis tidak mempunyai bapak (Wila Chandrawila, 2001). Sebenarnya, tidak ada paksaan bagi masyarakat untuk mencatatkan perkawinan. Dalam artian, jika kita tidak mencatatkan perkawinan, bukan berarti kita melakukan suatu kejahatan. Namun jelas pula bahwa hal ini memberikan dampak atau konsekuensi hukum tertentu yang khususnya merugikan perempuan dan anak-anak.
Bersinggungan dengan pentingnya pencatatan perkawinan, seperti juga pembuatan KTP atau SIM, kita sesungguhnya membicarakan pelayanan publik yang menjadi tanggung jawab negara. Sehingga sudah semestinya memperhatikan prinsip good governance, salah satunya adalah menetapkan biaya yang sesuai dengan taraf kehidupan masyarakat dan prosedur yang tidak berbelit-belit (user-friendly). Dengan prosedur yang tidak berbelit-belit dan biaya yang sesuai masyarakat diajak untuk mencatatkan perkawinannya.



BAB III
PENUTUP

           A.    Kesimpulan.
Pernikahan siri adalah nikah dibawah tangan atau nikah secara sembunyi-sembunyi. Disebut secara sembunyi karena tidak dilaporakan ke Kantor Urusan Agama bagi muslaim atau catatan sipil non muslim. Pendapat Imam Abu Hanifah, Yang dimaksud dengan nikah sirih adalah nikah yang tidak bisa menghadirkan wali dan tidak mencatatkan pernikahannya.
Sesungguhnya Islam telah memberikan tuntunan kepada pemeluknya yang akan memasuki jenjang pernikahan, lengkap dengan tata cara atau aturan-aturan Allah Subhanallah. Penikahan sesuai dengan Sunnah Nabi Muhammad Shallallahu 'Alaihi Wa sallam yang hanya dengan cara inilah kita terhindar dari jalan yang sesat (bidah).
Hukum nikah sirih secara aturan agama adalah sah. Dan dihalalkan atau diperbolehkan jika sarat dan rukun nikanya terpenuhi. Namun secara hukum yang berlaku di Negara kita tentang perundang-undangan pernikahan itu tidak sah karena di dalam perundangan ada yang tidak lengkap secara administrasi.
Dampak yang ditimbulkan dari nikah sirih lebih banyak faktor kerugaiannya dibandingkan faktor keuntungannya. Kerugaian yang terbesar dari nikah siri berdampak pada pihak perempuan dan anaknya untuk masa depannya.
Faktor yang melatar belakangi adanya nikah sirih yaitu 1) faktor ekonomi, 2) proses admisntrasi pernikahan yang dianggap terlalu sukar, 3) bagi pria yang yang ingin menikah lagi atau poligami tetap tidak mendapat persetujuan atau disetujui dari istri ke pertama, 4) dari awal baik si wanita atau pria yang melakukan nikah siri mempunyai itikad tidak baik, hanya sekedar menghalalkan hubungan persetubuhan saja.

           B.     Saran
Kepada pemuda pemudi islam agar tidak mengikuti tata cara perkawinan sirih karena dapat merugikan. Dan berusaha menghindari pernikahan sirih. Juga kepada pemerintah melakukan penyuluhan dan dapat menghimbau masyarakat tentang kerugian nikah siri.




DAFTAR PUSTAKA

  1. ASM. Saifudin H.U.(2002). Membangun Keluarga Sakinah, Amal Actual Perpustakan Daerah, Provinsi Banten.
  2. Hasan Ali M.(2003). Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, Prenada Media, Jakarta.
  3. Kurdi M.2006 (2006). Membentuk pernikaha yang sakral[online]. Tesedia: ssunnah@ yahoogroups.com[9 maret 2009].
  4. Nizami. A. (2005). Pernikahan sirih [online].tersedia: http://www.myquran.org/forum/ archive/index.php/t-4675.html[8 Maret 2009]
  5. Redaksi Tim, (2005). Undang-Undang Perkawinan, Fokus media, Bandung.
  6. Yunus, Mahmud.H Prof. (1976). Hukum Pernikahan Dalam Islam, Pthida Karya Agung, Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar